Minggu, 04 September 2011

Sepenggal Cerita Ayah

Ramadhan telah terlewati. Hari kemenangan pun datang kembali. Meski tak tahu haruskah kesedihan dan kesenangan itu akan menjadi satu. Kesedihan akan perginya Ramadhan yang begitu menguntungkan ataukah dalam waktu yang sama kesenangan juga harus dimunculkan karena kedatangan Hari yang menunjukkan kembalinya kita ke fitrah. Saat sanak saudara berkumpul, saling mengucap maaf, saling berbagi "salam tempel" ( namun sepertinya tidak denganku). Sejak kecil tak diajarkan dan tak pula ku alami mendulang uang THR dari saudara-saudara tua. Hanya karena Ayahku adalah orang yang dianggap paling berhasil dari sekian anak kakek dan nenek. Kami keluarga yangberangkat dari keluarga tak berada, keluarga yang sebagian besar tak menamatkan pendidikan dasarnya. Pengalaman yang tak memadai untuk mengarungi hidup. Semua anak dari kakek dan nenek dari AYAH tak ada yang mengenyam bangku sekolah lanjutan bahkan beberapa juga tak tamat SD. Ayahku sendiri tak bisa melanjutkan ke bangku SMP. Selalu kuingat saat Ayah berulang kali menceritakan pengalaman hidupnya semasa susah dulu. Ayah kecil harus bekerja sebagai buruh saat pulang sekolah, saat liburan sekolah. Selain menjadi buruh, Ayah juga berkeliling untuk menjual kayu bakar atau sebatas daun pisang. Uang yang diperoleh Ayah niatnya akan digunakan untuk melanjutklan sekolah. Ayah menyimpan uang itu dalam bambu yang telah diberi lubang untuk memasukkan uang. Namun sungguh tak beruntung Ayahku ini. Setelah berbulan bulan menabung untuk sekolah, uang itu diambil nenek untuk menikahkan Budhe. Ayah memang menyembunyikan uang simpanan itu dari nenek karena jika nenek tahu Ayah menabung pasti akan diminta untuk menutup kebutuhan sehari-hari. Maklum saat itu nenek dan kakek tak begitu mengedepankan pendidikan putra putrinya. Kelima anak kakek dan nenek mengalami nasib yang sama pada pendidikannya. Hal itulah yang menjadikan kebulatan tekad Ayah untuk benar-benar menyekolahkan anak-anak nya melebihi beliau. " Kalau aku hanya bisa tamat SD, tidak berlaku untukmu dan adik", kalimat itu sering sekali aku dengar dari Ayah. Meski harus terseok seok, Ayah dan Ibu tetap memperjuangkan bagaimana kami harus terus sekolah. Semangatku untuk sekolah pun juga tak pernah padam. Sampai ketika selepas SMA, Ayah memohon untuk menunda kuliah tahun depan. Aku sangat berat. Hingga aku memutuskan untuk bekerja hanya demi membeli formulir pendaftaran.
Setiap Lebaran, rekaman cerita-cerita Ayah selalu kembali terputar dalam ingatanku. Saat keluarga Ayah berkumpul. Kupandangi mereka satu persatu, meski tak separah alur cerita hidup Ayah dan saudara-saudaranya namun sepupu-sepupu ku juga tak begitu beruntung. Mereka tetap dalam keterbatasan dan tak ada kesadaran akan memperbaiki pendidikan putera puterinya. Miris menyaksikan itu semua mengingat Ayah telah berhasil. Melihatku memakai toga. Sedangkan keponakan-keponakannya?
Mereka tak tergerak, meski Ayah selalu membantu finansial mereka. Aku belum bisa melakukan apa-apa untuk mereka YA ROBB. Hanya lewat doa dan harapan kepadaMU, semoga mereka dapat melewati ini semua. Aku percaya Engkau tidak akan memberikan ujian kepada seorang hamba di luar batas kemampuannya. Dan semoga aku bisa membantu mereka, sekali lagi tidak hanya lewat doa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar