Selasa, 27 September 2011

Tak pernah lari pena dari buku, dan tak pernah akan terpisah buku dengan toko buku itu

Sebaik - baik teman adalah buku..
Sebaik - baik sahabat adalah pena...

Ketika tak seorang pun ada untuk ku saat aku butuh telinga untuk mendengar semuanya, hanya ALLAH SWT yang mampu melakukannya. Selalu dalam keceriaan, memang terlihat dari luar. terbalut senyuman dan derai tawa, itu juga gambaran diriku. Namun tak bisa dipungkiri setiap manusia selalu punya waktu untuk butuh orang lain. Makhluk sosial biasa disebut begitu. dalam hidupnya tak mungkin mengalami kesenderian terus menerus yang segalanya dapat diatasi sendiri. Aku butuh orang lain dan sebaliknya juga.

Begitu hebat yang terasa akhir  minggu lalu, saat semuanya pecah dalam sebuah titik waktu. Merasa galau, enggan dan sendiri. Hingga membaca sebuah rangkaian kalimat dalam sebuah sinopsis buku pun aku menangis. Sebelum ini sama sekali aku belum merasakan kejemuan dengan ketidakadanya seseorang sebagai tempat sandaranku, tetapi kenapa kini terjadi...
terluka melihat berpasang-pasang manusia yang melaluiku dengan keintiman yang penuh makna. Toh bukan keintiman seperti itu yang kuminta, hanya sedikit perhatian dan perlindungan dari seorang Adam.

Khusus untuk malam itu aku merasa sendiri, baiklah kataku. Mungkin aku butuh saat-saat seperti ini, sekedar untuk mengingatkanku bahwa aku juga butuh pendamping, sekedar memberi warning bahwa aku tak semata-mata hanya mengejar keegoisan diri. Mengucap terima kasih kepada Sang Khaliq yang telah menegurku dengan jalan seperti ini.

" Dan tak kupungkiri bahwa sebagian dari ketegaranku ada di toko buku ini - Gramedia"

Jumat, 16 September 2011

Dalam Sebuah Semangat dan Keceriaan

Dengan ilmu hidup jadi mudah. Dengan seni dan cinta hidup jadi indah. Dengan agama, hidup jadi terarah. Dengan semangat dan keceriaan hidup jadi bergairah.
Beberapa orang menaruh jempolnya saat status di facebook saya seperti yang tertera di atas. Mungkin hanya sekedar menyukai kalimat tersebut ataukah memang mempunyai pemahaman yang sama. Rangkaian kalimat tersebut saya temukan dalam sebuah catatan seseorang. Saya tuliskan, dengan harapan mungkin bisa berguna bagi orang lain. Menurut saya, pendidikan merupakan sebuah investasi yang " not exhausted by the time". Taruhlah kita mengesampingkan pemikiran " bahwa semakin tinggi ilmunya semakin tinggi pula gajinya", meski pemikiran ini juga tidak salah. Pandang bahwa dengan ilmu yang kita miliki kita mampu memberikan manfaat utnuk orang lain, manfaat positif tentunya. Pandang sebagai ibadah, alasan mengapa kita harus selalu menambah wawasan ilmu kita. Dengan ilmu hidup jadi mudah, semuanya akan terasa tak sulit jika kita mengetahui aturan mainnya.
Seni tanpa cinta.
Dan cinta tanpa seni. How?
Menurut saya juga, seni dan cinta disini dalam konteks kecintaan akan hidup. Kecintaan akan makhluk hidup. Kecintaan kita kepada Allah SWT akan membuat kita menikmati keindahan akan beragama, kecintaan kita kepada manusia (yang tentunya tidak melebihi porsi cinta kita kepada Allah SWT) akan menjadikan kita menghargai seni hasil karya Nya. Mencintai alam akan lebih membuat kita membuka mata akan keindahan hidup. Setiap manusia memiliki caranya sendiri untuk menyenikan kecintaan merekadan mereka juga mempunyai pola sendiri utnuk menikmati keindahan itu.
Tuntunan agama yang mengarahkan. Tak ada agama yang mengajarkan keburukan saya kira. tak satu pun. Setiap agama mengarahkan sebuah kehidupan. Itu mutlak.
Hal terakhir yang cukup mendorong terciptanya sebuah kolaborasi spektakuler adalah semangat dan tentu keceriaan. Semangat yang selalu saya percayai, Semangat pagi. Akan selalu seperti itu dan semoga terpupuk seperti itu. Meski petang, tengah hari, tengah malam, semangat itu akan terbangun dalam semangat pagi. Semangat yang selalu menghasilkan keceriaan, keceriaan yang diikuti untuk selalu beribadah dengan menebarkan senyum. Meski di dalam tak ketegaran namun di luar akan selalu tegar dengan senyum keceriaan dan semangat penuhnya.
Kembali bagaimana kita memandang hidup dan menyikapinya.
Berusaha dan memimpikannya atau memimpikannya dan mulai berusaha.

semangat pagi!

Rabu, 14 September 2011

Saku, handphone dan uang kertas

Semalam terjadi lagi. Sebuah kehilangan.
Kebiasaan yang jelas merugikan untukku. Menaruh uang di saku bersama dengan handphone. Padahal dompet juga ku bawa serta setiap pergi kemana-mana. Namun, hal itu terjadi lagi. Kebiasaan buruk yang pertama, yah itu tadi, menaruh uang di saku celana sebelah kiri bersama dengan handphone. Kali ini terjadi semalam, saat aku pulang dari lapangan bulutangkis. Dengan mengenakan training, kumasukkan selembar uang berwarna merah muda dan selembar uang berwarna biru. Pun juga tak lupa handphone pada saku yang sama. Kenapa di saku celana sebelah kiri? karena akan lebih mudah mengambil handphone jika ada di saku sebelah kiri daripada di saku sebelah kanan..... saat mengendarai motor.
Ini dia kebiasaan yang kedua, yang juga merugikanku ( mungkin juga kalian) . Tetap berkutat dengan handphone dan segala kemudahan fasilitasnya saat berkendara. Setiap ada SMS atau Telepon pasti akan ku lihat saat itu juga ( kalau memang menyadari ada yang bergetar di saku celana). Sekali lagi jangan contoh hal ini, karena selain merugikan juga membahayakan. Beberapa orang teman harus menginap di hotel "Rumah sakit" juga gara-gara handphone dan jalan raya.
20 meter hampir samapi di rumah ada sebuah SMS, dan aku ambil handphone dari saku dan membacanya. Oh, dari "Si Ini". Masih juga tak sadar. Beberapa saat kemudian saat akan menuju ke kamar kecil dan akan memberikan uang untuk Ibu, tiba-tiba tersadarlah aku. Uang itu raib, hilang, lenyap dan tak berbekas. Kucari-cari di sekililing kamar, ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, dapur. Dan tetap saja hasilnya nihil. Akhirnya ku putuskan untuk mengikuti alur pikiran ku. " Mungkin saja uang itu terjatuh saat aku mengambil handphone dari saku tadi".
Aku berjalan keluar rumah, mengamati sekitar dan tetap nihil. Teras kemudian menjadi sasaranku. Kemudian jalan di depan rumah. Sampai - sampai kutelusuri jalan yang tadi kulalui dengan berjalan kaki dan melihat ke bawah layaknya seoarang anak mencari mainannya yang hilang. Tak ketemu juga.
Dengan keadaan penerangan yang seperti ini, mustahil orang yang ada di jalan itu tidak mengenali uang kertas seratus ribuan dan uang lima puluh ribuan. Kuputuskan kembali ke rumah dengan muka tertunduk lesu dan mulai menceritakan kepada Ibuku. Beliau mendengarnya dengan saksama dan mengulangi usahaku tadi. tak ketemu juga. Akhirnya juga harus aku ikhlaskan uang itu. mungkin Allah SWT menegurku dengan cara seperti ini supaya aku menjadi pribadi yang lebih mensyukuri nikmat yang telah Ia berikan serta lebih peka melihat yang di bawah untuk bisa membantu mereka dalam hidupnya.
semoga kan selalu teringat dan bisa memperbaiki kebiasaan buruk ini.
Don't try this at home!

Selasa, 13 September 2011

Berawal dari mimpi dan berakhir pada sebuah ikhtiar

Beberapa jam yang lalu baru saja ku khatamkan membaca sebuah buku karya Donny Dirgantoro, yah, 2. Lanjutan dari sekuel 5 cm. Bukan lanjutan sepertinya hanya memang ditulis oleh pengarang yang sama. Namun tetap dalam sebuah tujuan yang menguatkan. motivasi. Bagaimana sosok penulis telah mampu membawa ku ke dalam alur ceritanya. Tentang cinta, perjuangan keras melawan hidup, waktu, bulutangkis, dan kepercayaan diri yang begitu luar biasa. Tergambarkan bagaimana sebuah keluarga yang melahirkan cinta mati nya terhadap bulutangkis, menjadikan bulutangkis menjadi jalan hidupnya. Sinkron dengan apa yang aku alami. Keluarga yang tumbuh karena kecintaan terhadap bulutangkis. Hanya saja kami  berbeda. Keluarga Gusni. Keluarga Gita. Keluarga atlet yang begitu gigihnya memperjuangkan bagaimana shuttlecock dapat tetap ada di hati rakyat Indonesi melalui tetes keringat mereka. Keluargaku tak jauh dari itu semua. Berawal dari bulutangkis yang akhirnya mampu menghidupi kami semua. Pendidikan, sesuap nasi dan bahkan kebahagiaan kami.

Satu poin lebih ku dapati bahwa. Ini bulutangkis dan ini Indonesia.

Poin lain yang kuperoleh dari buku ini adalah perjuangan keras seorang Gusni menghadapi maut dan penyakit yang mungkin tak bersahabat dengan waktu yang tak bisa diajak kompromi juga. Suatu waktu akan membuatnya terpisah dan meninggalkan kecintaan hidupnya. Namun terlepas itu semua Ia tak pernah menyerah. Gusni berani mencintai, dan Ia mencintai dengan berani. Berani mencintai hidupnya, berani mencintai bulutangkis nya, berani mencintai orang-orang yang ada untuknya saat terpuruk parah, berani mencintai Indonesia dengan Dwi Warna di dadanya. Jangan pernah meremehkan kekutan manusia karena Tuhan sendiri pun tidak.
Aku percaya itu, selama kita masih terus berusaha, selama kita masih menengadahkan tangan untuk memohon padaNYA, maka tidak ada yang tidak mungkin. Siapa lagi yang akan memperjuangkan hidup kita kalau bukan kita sendiri, dan aku lah sendiri yang akan mengilustrasikan apa yang akan aku impikan. Dan aku juga yang akan berusaha dengan menanamkan impian itu 5cm di depan keningku. Lalu meraihnya. Bukan hanya soal sebuah buku, tapi ini adalah perihal sebuah kebulatan tekad mengahadapi sesuatu yang tak kau sangka sebelumnya.

Minggu, 04 September 2011

Sepenggal Cerita Ayah

Ramadhan telah terlewati. Hari kemenangan pun datang kembali. Meski tak tahu haruskah kesedihan dan kesenangan itu akan menjadi satu. Kesedihan akan perginya Ramadhan yang begitu menguntungkan ataukah dalam waktu yang sama kesenangan juga harus dimunculkan karena kedatangan Hari yang menunjukkan kembalinya kita ke fitrah. Saat sanak saudara berkumpul, saling mengucap maaf, saling berbagi "salam tempel" ( namun sepertinya tidak denganku). Sejak kecil tak diajarkan dan tak pula ku alami mendulang uang THR dari saudara-saudara tua. Hanya karena Ayahku adalah orang yang dianggap paling berhasil dari sekian anak kakek dan nenek. Kami keluarga yangberangkat dari keluarga tak berada, keluarga yang sebagian besar tak menamatkan pendidikan dasarnya. Pengalaman yang tak memadai untuk mengarungi hidup. Semua anak dari kakek dan nenek dari AYAH tak ada yang mengenyam bangku sekolah lanjutan bahkan beberapa juga tak tamat SD. Ayahku sendiri tak bisa melanjutkan ke bangku SMP. Selalu kuingat saat Ayah berulang kali menceritakan pengalaman hidupnya semasa susah dulu. Ayah kecil harus bekerja sebagai buruh saat pulang sekolah, saat liburan sekolah. Selain menjadi buruh, Ayah juga berkeliling untuk menjual kayu bakar atau sebatas daun pisang. Uang yang diperoleh Ayah niatnya akan digunakan untuk melanjutklan sekolah. Ayah menyimpan uang itu dalam bambu yang telah diberi lubang untuk memasukkan uang. Namun sungguh tak beruntung Ayahku ini. Setelah berbulan bulan menabung untuk sekolah, uang itu diambil nenek untuk menikahkan Budhe. Ayah memang menyembunyikan uang simpanan itu dari nenek karena jika nenek tahu Ayah menabung pasti akan diminta untuk menutup kebutuhan sehari-hari. Maklum saat itu nenek dan kakek tak begitu mengedepankan pendidikan putra putrinya. Kelima anak kakek dan nenek mengalami nasib yang sama pada pendidikannya. Hal itulah yang menjadikan kebulatan tekad Ayah untuk benar-benar menyekolahkan anak-anak nya melebihi beliau. " Kalau aku hanya bisa tamat SD, tidak berlaku untukmu dan adik", kalimat itu sering sekali aku dengar dari Ayah. Meski harus terseok seok, Ayah dan Ibu tetap memperjuangkan bagaimana kami harus terus sekolah. Semangatku untuk sekolah pun juga tak pernah padam. Sampai ketika selepas SMA, Ayah memohon untuk menunda kuliah tahun depan. Aku sangat berat. Hingga aku memutuskan untuk bekerja hanya demi membeli formulir pendaftaran.
Setiap Lebaran, rekaman cerita-cerita Ayah selalu kembali terputar dalam ingatanku. Saat keluarga Ayah berkumpul. Kupandangi mereka satu persatu, meski tak separah alur cerita hidup Ayah dan saudara-saudaranya namun sepupu-sepupu ku juga tak begitu beruntung. Mereka tetap dalam keterbatasan dan tak ada kesadaran akan memperbaiki pendidikan putera puterinya. Miris menyaksikan itu semua mengingat Ayah telah berhasil. Melihatku memakai toga. Sedangkan keponakan-keponakannya?
Mereka tak tergerak, meski Ayah selalu membantu finansial mereka. Aku belum bisa melakukan apa-apa untuk mereka YA ROBB. Hanya lewat doa dan harapan kepadaMU, semoga mereka dapat melewati ini semua. Aku percaya Engkau tidak akan memberikan ujian kepada seorang hamba di luar batas kemampuannya. Dan semoga aku bisa membantu mereka, sekali lagi tidak hanya lewat doa.